Rabu, 26 Februari 2014
Rabu, 19 Februari 2014
Mikir
If we think only of ourselves, forget about other people, then our minds
occupy very small area. Inside that small area, even tiny problem
appears very big. But the moment you develop a sense of concern for
others, you realize that, just like ourselves, they also want happiness;
they also want satisfaction. When you have this sense of concern, your
mind automatically widens. At this point, your own problems, even big
problems, will not be so significant. The result? Big increase in peace
of mind. So, if you think only of yourself, only your own happiness, the
result is actually less happiness. You get more anxiety, more fear.
-Dalai Lama-
-Dalai Lama-
Sabtu, 08 Februari 2014
Kebencian Abadi di Kota Abadi
Persaingan ketat, rivalitas dan mempunyai musuh
bebuyutan adalah hal biasa yang terjadi di dunia sepakbola. Misalkan di La Liga Spanyol. Persaingan antara Real
Madrid dan Barcelona yang sangat panas hampir disetiap musimnya. Selalu terjadi
duel sengit antara duo raksasa Spanyol ini. Bisa dilihat dari antusiasme pemain
sebelum pertandingan hingga suporter yang bisa berbondong-bondong datang ke
stadion. Tidak jarang pertandingan berakhir ricuh. Duel yang disebut juga El Classico ini bahkan terasa panasnya
hingga seluruh penjuru dunia. Tidak heran rating
and share dari pertandingan ini di TV sangat tinggi. Lalu di Inggris ada
persaingan antara Manchester United dan Liverpool yang juga sudah melegenda.
Persaingan saling sikut memperebutkan gelar juara atau sekedar gengsi masih
akan selalu panas hingga saat ini.
Namun salah satu rivalitas terpanas dan
mempunyai tensi paling tinggi justru berada di ibu kota Italia, Roma. Terdapat
dua klub raksasa ibu kota yang sudah berpuluh-puluh tahun bersaing bahkan
sangat kental aroma permusuhan, yaitu AS Roma dan Lazio. Terdengar sangat
subjektif melihat saya adalah fans dari AS Roma, namun saya mencoba objektif
untuk menyebut rivalitas kedua klub adalah rivalitas yang menggumkan. Banyak
pertandingan derby atau persaingan
klub besar yang sering saya saksikan, tapi tidak pernah sepanas pertandingan
dan persaingan antara AS Roma dan Lazio yang juga disebut Derby della Capitale atau derby ibu kota. Memang El Classico mempunyai
"penggemar" yang besar dan persaingan yang ketat, tapi persaingan
belum mampu menandingi kehebatan Derby
della Capitale. Derby lainnya di
Italia pun juga tidak ada yang semegah Derby
della Capitale. Misalnya Derby della
Madonina, Derby d'italia, atau Derby
della Mole yang terasa masih lebih "bersahabat".
Anda tentu boleh mempunyai pendapat lain, tapi
coba perhatikan beberapa hal yang akan saya coba ceritakan. Pertama latar
belakang dari rivalitas ini tidak hanya soal sepakbola. Banyak unsur-unsur
politik juga yang sering sengaja disampaikan dari pendukung-pendukung kedua
klub. Para suporter di Kota Roma seakan memang memperlihatkan bahwa
pertandingan derbi ibu kota ini tidak hanya sekekdar permainan. Klub AS Roma
didirikan hasil penggabungan dari tiga tim. Roman, Alba-Audace dan Fortitudo,
yang merupakan instruksi dari rezim fasis yang berkuasa dan diprakarsai oleh
Italo Foschi. Pada masa itu Benito Mussolini memang sengaja menginginkan sebuah
klub asal Roma yang kuat untuk menantang dominasi klub dari utara yang sangat
perkasa seperti Juventus, AC Milan, Internazionale dan Torino. Namun ada satu
klub yang menolak merger tersebut, tidak lain adalah Lazio. Hal ini juga
merupakan pengaruh salah satu jendral fasis, Giorgio Varccaro. Dari sini
dimulai persaingan antara kedua klub. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa AS Roma
mewakili kaum buruh, karena mempunyai basis penggemar yang banyak di berbagai
penjuru kota, sedangkan Lazio adalah representasi dari kaum borjuis, pendatang
yang ingin menguasai Roma. Asumsi ini dibalas Lazio dengan menyebutkan bahwa
mereka lebih dulu terbentuk dari AS Roma, maka Lazio lah yang berhak menguasai
kota. Lazio didirikan tahun 1900 dan AS Roma baru didirikan 27 tahun
setelahnya. "Italia bukan lah
negara bersatu seperti Amerika Serikat. Orang di sini lebih menganggap diri
mereka sebagai Roman, atau Tuscan atau Sisilia dibanding Italia." jelas
Franco Spicciarello penulis olahraga ternama di Kota Roma.
Sebenarnya pendukung kedua klub mempunyai
kesamaan, yaitu membenci arogansi klub dari utara. Namun fakta bahwa AS Roma
dan Lazio tetap tidak banyak meraih gelar dibandingkan klub raksasa utara
menyempitkan pandangan kedua pendukung. Roministi dan Laziale semakin berpikir
bahwa mereka setidaknya bisa menguasai Kota Roma yang malah meruncingkan
persaingan kedua klub. Rivalitas semakin
terbentuk sampai menimbulkan kebencian yang melebih rasa cinta terhadap klubnya
sendiri. Bisa dilihat ketika persaingan antara AS Roma dan Internazionale
sedang sangat ketatnya dalam perebutan gelar juara, Laziale berulah dengan mencoba
mengancam pemainnya sendiri saat pertandingan antara lazio dan Inter digelar.
Spanduk seperti "Biarkan bolanya masuk Muslera (Penjaga gawang Lazio saat
itu), maka kau akan tetap kami cintai!" lalu ada juga "Jangan kamu
berani mencetak gol, Zarate! Atau akan kami paketkan ke Buenos Aires!"
Jose Mourinho yang melatih Inter saat itu pun heran. "Tidak pernah saya
melihat hal seperti ini," katanya. Hal seperti ini bahkan tak hanya sekali
dilakukan oleh pendukung Lazio. Lalu juga beberapa kali Laziale bertindak rasis
kepada pemain Roma yang kebetulan banyak diperkuat pemain Brazi berkulit hitam.
Dari kubu romanisti juga beberapa kali melakukan ejekan yang sarkas kepada
pemain Lazio, bahkan juga mantan pemain Lazio. Korbannya adalah Paulo Negro.
Saat Roma berhasil merebut Scudetto
pada tahun 2001, Roma hanya memimpin tipis diatas Juventus. Tentu hasil
pertandingan derbi ibu kota saat itu sangat berpengaruh untuk kejayaan Roma
saat itu. Kebetulan kemenangan 1-0 terjadi berkat gol bunuh diri bek Lazio,
Paulo Negro. Nasib buruk bagi Negro saat sudah pindah membela Siena, Romanisti
melakukan standing applause tepat
saat Negro memasuki lapangan di pertandingan Roma melawan Siena. Sebuah ejekan
yang akan selalu menjadi beban seumur hidup mungkin.
Para icon
dari kedua klub juga banyak memberikan cerita seru saat Derby della Capitale berlangsung. Misalkan head to head antara Pangeran Roma, Francesco Totti dan kapten Lazio
saat itu, Alessandro Nesta. Kedua pemain sempat beradu skill, dimana kepiawaian
Nesta menjaga daerah pertahanan diimbangi dengan visi dan kemampuan Totti
mengatur serangan, bahkan sempat terjadi tensi tinggi antara kedua pemain yang
sama-sama memperkuat tim nasional Italia itu. Kemudian ada aksi pemboikotan
pertandingan di Tahun 2003. Saat itu tiga pimpinan suporter turun ke lapangan
untuk berbicara langsung kepada Totti. Terdengar oleh pemirsa di televisi kalau
suporter akan membunuh para pemain jika pertandingan tidak dihentikan,
alasannya ada anak kecil terbunuh di luar stadion akibat ulah polisi. Mendengar
itu Totti berdiskusi dengan wasit dan pengurus pertandingan, yang berakhir
dengan keputusan pertandingan harus ditunda. Ternyata setelah diusut berita
anak kecil yang terbunuh hanya hoax dan
akal-akalan beberapa suporter Roma untuk membalas perlakuan Polisi yang
dianggap sewenang-wenang. Pernah juga disela pertandingan kedua suporter saling
melempar mercon dan kembang api sampai memaksa pertandingan dihentikan
sementara. Kedua kapten tim saat itu,
Paolo Di Canio dan Francesco Totti pun sampai harus berdamai sementara untuk
menghampiri tribun suporter guna mengendalikan keadaan.
Banyak drama yang terjadi disetiap pertemuan
Roma dan Lazio. Kali ini Roma datang dengan membawa tren bagus dibanding Lazio.
Berada di posisi kedua dengan hanya sekali kalah dari pemimpin klasemen,
Juventus, Roma mencoba memberikan permainan menyerang ala Rudi Garcia. Lazio
juga kali ini sedang menanjak performanya setelah berpindah pelatih dari Vlad
Petkovic ke Edy Reja. Drama apa yang akan tercipta di Derby della Capitale kali ini? Saya pasti akan selalu berharap Roma
yang berjaya.
Langganan:
Postingan (Atom)