Minggu, 05 Juni 2016

Proletariat yang Terus Berhasrat





“Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,”

Menjadi proletariat di kaum urban memang akan selalu tidak mudah. Mau tidak mau uang menjadi tujuan utama untuk bertahan hidup di tengah hegemoni masyarakat. Entah demi status sosial atau anak istri, setiap bulan harus tercukupi. Bekerja sepanjang hari hingga lembur demi insentif sampai lupa wajah matahari pagi.






“Hari-hari berulang,
diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.”
Rasa aman akan penghasilan ternyata harus dibayar dengan kenyamanan. Rutinitas, cicilan, tagihan awal bulan, himpitan hutang harus ditambah dengan sampingan. Lupakan cita-cita dan impian. Ganti dengan iming-iming penghasilan dan jabatan.




“Tujuh tahun yang lalu,
impian membawaku
Kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku kembang-kempis”
Rokok ketengan dan kopi abang-abang jadi pelarian. Penenang yang lebih dicari dibanding nasi, sayur, dan ikan teri.
Aku rasa waktuku lebih berharga dari pada sekedar simpan tenaga. Lupakan rehat yang penting dompetku sehat. Semua demi hasrat.




“Tujuh tahun berlalu,
impianku tersapu”
Tanpa terasa waktu terus berputar. Keabadian yang mebuatku gentar. Wahai proletar, mau sampai kapan?


Peringatan!
Tuhan pun sudah bersyair di ujung malam yang lingsir. Mengapa bertahan dikehidupan yang satir? Padahal satu-satunya kepastian itu adalah ketidakpastian yang mondar-mandir.


“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”
Tak sadar hasrat membuatku sesat. Uang membawaku hilang, hingga lupa rasa pulang. Terjebak di petualangan yang membuat aku tidak tahu kapan berhenti. Tanpa sadar aku sudah mati walau jasad tetap berlari. Apa itu identitas diri?
Demi Tuhan, atau demi setan. Sumpah, aku ingin rumah untuk pulang.





Lagu rantau yang menyadarkan. Dari dosa, kota dan kenangan.
Karena aku tersilampukaukan.






Teks: Safa Prasodjo

Foto: Fransiska Amelia

Senin, 04 April 2016

Saat Surabaya Dipindah ke Jakarta

Karis dan Eki di panggung Teater Kecil TIM

Hampir empat bulan lagu Puan Kelana mondar - mandir di playlist hp saya. Ajaibnya saya tidak pernah tau kalau lagu yang mempunyai lirik dengan rima kurang ajar ini adalah milik Silampukau. Duo asal Surabaya dengan genre folk.

Kau putar sekali lagi Champs-Elysees.
Lidah kita bertaut a la Francais.
Langit sungguh jingga itu sore,
dan kau masih milikku.
Silakan perhatikan kutipan bait pertama lagu Puan Kelana. Pernah sesakit hati apa kah orang yang membuat lirik macam itu?
Sampai akhirnya saya memutuskan untuk jatuh cinta dengan ngganteng-nya suara Mas Eki dan Karis saat mereka muncul di Teater Kecil TIM. Silampukau dan kawan - kawan saya rasa berhasil memindahkan Surabaya ke Cikini seketika. Imajinasi Surabaya dibenak saya disulap menjadi lebih romantis dari Paris. Gigs yang dirasakan juga sangat intim, membuat Kalya teman yang secara tidak sengaja menjadi teman kencan tiba-tiba itu nyengir - nyengir sambil bergumam "Mas Karis ganteng...". Saya pun dalam hati mengamini, "Mas Eki juga ganteng.." ok salah. 
Kesimpulan yang bisa saya rasakan adalah Silampukau merupakan musisi folk termewah yang pernah saya tonton live. Lirik kampret, yang entah darimana kepikiran menyandingkan kata bir, kafir, dan matrimoni dalam satu bait. Mungkin jenius atau perlu mabuk potas? Saya rasa keduanya.

"Let me put it this way, Silampukau boys are sharp and spot on because of one reason. They have harnessed the most powerful part of folk music: Narrative. When I listen to Dosa, Kota dan Kenangan, I hear vulnerability. I hear honest memories. I hear cities’ cruelty. I hear myself. This vulnerable narrative travels so far beyond the music, it reaches strange places in your head, plays with your mind. Trust me, you don’t want to talk about anything technical when you can find witty phrases like “entah merlot entah Cap Orang Tua” put stylishly with grace and virtue in a song." Teguh Wicaksono
Sang Puan Kelana harus terpukau dengan karya Silampukau. Lagu Doa yang terlalu sering diamini penontonnya sampai akhirnya cerita Dosa, Kota, dan Kenangan benar sampai di Jakarta. Tentu tidak perlu menunggu sampai tua untuk akhirnya masuk televisi. hehehe..




Kalya, Pandji, Saya
Sebenarnya yang paling anjing adalah makhluk sialan namun beruntung menjadi keyboardist malam itu, Pandji Putranda. Saya pikir saya akan nonton bareng dengan si kampret ini, tapi ternyata tak siangka, tak dinyana dia ada di atas panggung. well.....

Selamat buat Silampukau yang penampilannya jauh diatas sukses, jancuk! Sofia, kamu pasti menyesal. Tapi terimakasih sudah diyakinkan untuk datang. pfftt..... Kalya, entah apa jadinya saya tanpa Puan. Maafkan aku Jawir, wanitamu kupinjam beberapa jam. 

Kamis, 22 Oktober 2015

Langgam Bola Mati dari Bosnia

Hampir semua merapat ke layar kaca. Menjadi pelipur lara bagi kebanyakan anak muda untuk sekedar hanyut di sosial media. Namun tidak terlalu sukar buat pemuja sepakbola Kota Roma, untuk sekedar redakan murka. Terasa lebih mudah mencari obat hati termujarap saat ini. Lihat saja Miralem Pjanic mengeksekusi bola mati.

Di waktu-waktu "chicken wings" Rudi Garcia terbentur jalan buntu, ada Pjanic membantu.
Buat apa bersulit ria ngeyel menusuk dari sayap kanan kiri? Jatuh saja, cukup di depan kotak pinalti, biarkan Pjanic menendang bola mati. Begitu fasih memikat hati, pemuda Bosnia ini diincar banyak klub besar akhir musim nanti.

10 gol dicetaknya, hanya kalah 2 gol dari Andrea Pirlo di Serie A. 

Berbeda dengan Pangeran Roma, Francesco Totti. Beliau juga ahli urusan bola mati. Tetapi Totti punya cara sendiri. Dibanding dengan Pjanic yang meluncurkan bola bagai pelangi, Totti lebih suka maksimalkan kekuatan di ujung kaki. Cara Totti seperti sengaja mengincar penjaga gawang tak sadarkan diri, namun Pjanic cukup menyihir kiper diam berdiri.

No Pjanic, No Magic.

(dibacakan seperti Mata Najwa di akhir acara)


Jumat, 25 September 2015

Chicken Wings Rudi Garcia

Rudi Garcia
Apakah menurut Anda ayam goreng itu enak? Jelas. Namun jika Anda makan ayam goreng saat sarapan, makan siang, makan malam setiap hari, apa Anda masih akan memandang ayam goreng itu enak? Bagi Rudi Garcia pasti tetap enak.

Saya sebagai pelanggan setia Roma Resto tentu selalu berharap menu yang menggugah. Rudi Garcia sebagai koki utama saat ini, gemar menyajikan hidangan ayam. Dia terkenal dengan kemahirannya memasak chicken wings. Beberapa kali beliau menyajikan aneka masakan dengan chicken wings sebagai bahan dasarnya. Beberapa diantaranya adalah chicken wings dengan perpaduan bumbu asal Pantai Gading, Argentina, dan Serbia. Namun James Pallota selaku bos besar kurang puas dengan chicken wings ala Garcia. Karena restoran nyonya tua sebelah yang jauh lebih berpengalaman mampu menjadi restoran nomer wahid, sedangkan chicken wings Garcia hanya mampu bertengger di posisi kedua.

Akhirnya investasi besar kembali dilakukan James Pallota. Walter Sabatini Direktur Bahan Pangan Roma Resto, dituntut bekerjasama dengan Rudi Garcia untuk menciptakan hidangan terbaik di kompetisi musim depan. Saya sangat berharap akan ada inovasi dan kreatifitas baru di menu Roma Resto.

6 bulan berlalu. Optimisme kembali dipanaskan dengan slogan "Hungry for Glory". Walter Sabatini berhasil memborong bahan baku yang mampu menjadi hidangan utama. Hingga akhirnya awal musim dimulai dengan beberapa janji racikan baru Garcia.

Entah kesalahan ada pada lidah saya atau hidangannya. Alih-alih menyediakan menu lain, semacam menu lokal seperti pizza atau spageti, Garcia lagi-lagi menyediakan chicken wings. Ya, chicken wings kali ini tanpa bumbu asal Serbia, tapi dengan tambahan minyak zaitun ala mesir dan tortilla kentang ala spanyol. Hasilnya? Saya mual.
Saya sempat iri dengan teman saya yang menceritakan enaknya menu baru restoran di kotanya. Makanan khas Montenegro selalu padu dengan appetizer bruschetta yang dimasak ala Argentina. Tidak heran memang, karena kokinya pun memang berpengalaman, karena sempat menjuarai master chef di italia dan inggris beberapa tahun lalu. Pantas disana sekarang ramai pengunjung.

“Saya mengerti dengan adanya pandangan negatif tentang chicken wings yang saya buat. Namun kekhawatiran akan inovasi racikan saya tidak beralasan, karena kadang saya pun memasak sup sayap ayam atau nasi goreng dengan ayam goreng bagian sayap,” tutur Garcia yang dikutip oleh romaresto.com.


Saya membanting handphone saya.

Minggu, 20 September 2015

Déjà vu Edin Dzeko

Edin Dzeko
Datangnya bomber asal bosnia ini memang melengkapi skuad Roma musim ini. Namun entah memang sengaja atau memang cara pandang saya dalam memahami skuad Roma berbeda dengan Rudi Garcia dan Sabatini? Hadirnya Dzeko hanya menambal sulam kepergian Destro, Doumbia, dan Borrielo. Betul sekali jika kualitas ketiga penyerang sebelumnya masih di bawah Dzeko, tapi jika Dzeko dianalogikan seperti  Bams Samsons yang terus – terusan dipaksa menyanyi dengan tenaga dan nada yang tinggi akhirnya di satu titik, pita suaranya pun cedera. Sekarang apa ada yang pernah mendengar Bams di tv lagi? Begitu juga Dzeko. Terlalu riskan menaruh beban gol disetiap pertandingan di satu orang saja.

Masih dini memang untuk mengkritisi kebijakan Rudi Garcia saat musim baru berjalan dua pertandingan saja. Tapi saya yakin tidak sedikit romanisti yang khawatir performa Roma hanya akan menjadi ejakulasi dini. Mau sampai kapan kita romanisti hanya akan bersorak sorai untuk posisi runner up?

Kekhawatiran saya berujung dengan membuka website asroma.it, melihat apa ada koleksi seorang Central Forward selain Dzeko. Ternyata nihil. Beralih ke situs transfermarkt.com lah saya menemukan satu orang rekrutan baru, Ezequel Ponce. Siapa Ponce? Remaja 18 tahun asal Argentina ini sepertinya hanya akan berakhir di Roma Primavera.

Francesco Totti akhirnya lah yang menjadi jawaban sementara. Mungkin di umurnya yang nyaris 40 tahun ini sudah beberapa kali fase yang dialaminya. Dari kebanggaan sebagai pemuda asli Roma yang menembus tim utama, kebahagiaan menjadi kapten kesebelasan, sampai tanggung jawab sebagai tumpuan utama disetiap musim. Sekarang jika di Trigoria ada orang yang berkata “Totti, kamu adalah tumpuan utama tim musim ini,” tentu raut mukanya akan berbeda dengan Totti sekitar 15 tahun lalu. “Gue lagi, gue lagi,” gerutunya sambil memegangi punggungnya yang mulai sering masuk angin.

Dzeko dan Pjanic
Namun musim ini Totti boleh duduk di bench dengan lebih tenang. Beban besarnya sudah mulai diringankan dengan hadirnya duo Bosnia, Pjanic dan Dzeko. Bayangkan saja tugas menjadi sumber kreatifitas, pemimpin, dan mesin gol seperti sudah biasa dialami Totti. Saya yakin, saat Anda diberi job desk rangkap dua saja pasti sudah misuh misuh minta resign dan cari tempat kerja lain. Sekarang Totti cukup fokus menjadi leader bagi timnya, baik di dalam atau luar lapangan.


Memang hanya di sektor penyerang sayap saja stok pemain bisa sangat dalam dan merata. Sektor bek sayap kiri, playmaker, dan penyerang lah yang riskan kedodoran jika salah satu ada yang cedera. Namun jika melihat formula yang terjadi saat bursa transfer musim ini mirip-mirip dengan 15 tahun lalu. Saat Roma yang kekurangan tenaga dalam mendobrak untuk merebut scudeto, datanglah Batistuta yang menjadi mesin gol. Apa déjà vu Batistuta dan Dzeko memiliki ending yang sama?

Jumat, 24 Juli 2015

Menilik Sabatini dan Pilihan Senjatanya

Walter Sabatini. Saya perlu mengucap terimakasih yang sangat banyak atas keberhasilannya mendatangkan Miralem Pjanic, Kevin Strootman, dan Radja Nainggolan plus mempertahankannya hingga saat ini. Saya tidak peduli dengan suara-suara sumbang bahwa Anda adalah seorang Laziale. Yang penting adalah Anda bekerja dengan baik. Namun memang Anda masih suka luput dalam menilai seorang ujung tombak.

Bisa kita katakan Pjanic, Strootman, Nainggolan, dan De Rossi adalah tongkat kokoh yang menunjang pisau diujungnya. Terkadang kekokohan mereka di lini tengah menjaga ball possession tidak diimbangi ketajaman pisau di lini serang. Pada awal tahun (lagi-lagi) tepatnya saat Piala Afrika berlangsung, Roma kehilangan staring. Membuat saya yang menonton pertandingannya, menjadi perapal banyak mantra demi sebuah gol! Buat apa kita mengayun-ayunkan tombak tanpa memiliki tusukan mematikan? Seperti melihat pasukan berkuda bersenjatakan ilmu taekwondo, Kotaro Minami yang lupa cara berubah menjadi Ksatria Baja Hitam, atau Indomie Goreng tanpa telur. Tidak mematikan.

Bisa dilihat dari jumlah gol Roma di awal tahun 2015 dibandingkan dengan di awal musim. 10 pertandingan awal musim, Roma berhasil membobol gawang lawan sebanyak 18 kali, sedangkan 10 pertandingan awal tahun, Roma hanya berhasil membobol gawang lawan sebanyak 12 kali. Jika ditarik menjadi 15 pertandingan maka perbandingannya akan melebar menjadi 30 : 17. Anomali ini juga terjadi musim lalu.


Mattia Destro dan Marco Borrielo lah bomber yang dimiliki Rudi Garcia sejak dua tahun lalu. Destro cukup berhasil di musim 2013-2014 dengan mengemas 13 gol. Tersubur di Roma kala itu. Namun di musim berikutnya, Destro hanya berhasil mengemas 4 gol (plus 3 gol di Milan karena dipinjamkan setengah musim). Bisa dimaklumi penurunan Destroyer ini karena cedera yang dialaminya saat awal musim. Tapi mungkin Sabatini melihat cedera Destro ini sudah seperti flu, tiap musim akan kambuh lagi.Sehingga dia masuk Transfer List musim ini. Padahal Destro adalah andalan saya di PES maupun FIFA, skill yang dimilikinya memang tidak wah. Tidak memiliki tendangan semematikan Baloteli, sundulannya pun tidak seberbahaya Klose, atau kecepatan dan dribelnya juga tidak lebih baik dari Higuain. Namun positioning-nya lah yang juara. Kemampuan "loh kok bisa ada dia disitu" lah yang bisa disandingkan dengan Inzagi. Tipikal striker licin. Tidak perlu skill tinggi yang penting bola akan saya masukkan ke gawang. Sayang jika harus melihatnya di klub italia lain.

Borrielo? Tampangnya yang keren ternyata tidak sekeren statistiknya. Padahal entah kenapa saya selalu merasa Borrielo salah satu striker yang bisa membuat defender lawan dedegan. Sundulannya bisa tiba-tiba muncul dan sangat bertenaga. Kemampuan fisiknya yang kuat ditambah tendangan kaki kirinya juga bisa membuat kepala pusing jika mendarat di jidat. Mungkin diusianya yang sudah mulai tua, ditambah gajinya yang mahal menjadi pertimbangan Sabatini untuk tidak mempertahankannya lama-lama. 3 musim dipinjamkan ke 3 klub berbeda, dan akhirnya musim ini permanen di Genoa. Semoga sukses penyerang andalan (di football manager).

Selain mereka berdua muncul Francesco Totti, Usia yang sudah 39 tahun ini apa masih etis untuk memberinya beban menjebol gawang setiap pekan? Walaupun gejala susah mencetak golnya belum muncul, bahkan sempat menjadi top skor klub di musim 2014-2015 dengan 11 gol, Totti tidak selayaknya diberi tumpuan seberat itu. Setidak sopan sarjana muda yang masih minta jajan papanya saja.

Habis Destro terbitlah Seydou Doumbia. Menarik jika melihat karir dari bomber asal Pantai Gading ini. Karir Profesionalnya berawal di J-League 2 bersama Kashiwa Reysol. Bakat Doumbia muda terendus oleh scout dari swiss, hingga akhirnya dia bisa menyandang predikat seorang bomber subur dengan mencetak 57 gol dari 78 pertandingan. Karirnya menanjak bersama CSKA Moskow. Bermain di Liga Champion berhasil melambungkan namanya di benua Eropa. Ditambah CV yang makin mentereng dengan capaian 84 gol dari 130 pertandingan. Tentu harapan besar ada dipundak Doumbia saat direkrut ke Roma. Tapi rekan senegara Gervinho ini masih terlalu canggung bermain di Serie A. 2 gol dalam setengah musim bukan hasil yang baik buat seorang striker.

Ada satu hal yang dilupakan Sabatini. Doumbia orang Afrika. "Saya butuh bomber! Mana bomber subur pesannan saya, Pak?" ujar Rudi Garcia awal tahun lalu. "Aduh! Masih main di Piala Afrika," Sabatini menutup mukanya. "Lah kok lali meneh toh pakde? Gervinho podo wae. Totti meneh yo aku ra penak, Pak." Garcia misuh-misuh.

Mungkin tadi pagi Garcia sudah mulai khawatir hingga mengirim pesan singkat ke Sabatini, "Pagi, Pak Sabatini. Pesanan saya sudah ready? Bomber, sudah mencetak lebih dari 100 gol, item gapapa, asal jangan Afrika. Trims."

"Maaf, mas. Mitrovic nggak jadi. Keduluan anak kampung sebelah. Dzeko, insya Alloh, Mas. Aku lagi lobi Pak James untuk nambah sangu. Kalo sulit nanti dicoba ke pasar loakan, Mas. Ada merk bagus tapi perawatan susah si Baloteli atau lawas lumayan si Berbatov?"

Senin, 19 Januari 2015

Rudi Garcia dan Pengawal Sayapnya


Sudah lebih dari tiga kali Roma musim ini menyianyiakan kesempatan menikung Juventus. Saya sendiri sudah hampir bosan dengan judul-judul media saat Juventus terpeleset. Dari headline “Saatnya Roma menyodok capolista” hingga yang bernada penuh semangat kutipan Radja Nainggolan “Ini saatnya kita rebut posisi nomor satu “. Seperti solider dengan Juve, Roma malah ikut-ikutan terpeleset.

Bek Sayap

Bekal yang dibawa Garcia jelas lebih banyak untuk mengarungi musim ini dibanding debutnya tahun lalu. Namun beberapa celah mulai terlihat mengganggu. Bagai daging yang terselip diujung gusi, salah satunya kehadiran Ashley Cole seperti hanya geli-geli saja. Alih-alih me
njadi pemain bintang, bapak yang sempat sukses menjadi salah satu bek kiri paling berbahaya di tanah Inggris ini malah menjadi celah buat para penyerang lawan. Cole terlihat tergopoh-gopoh dimakan usia untuk menyisir sisi kiri lapangan. Dengan Balzareti yang cedera praktis Roma menyisakan Jose Holebas. Orang yang baru saja saya tau keberadaannya tahun ini. Beruntung ternyata bek Yunani ini cukup ajaib untuk ukuran bek kiri. Lihat saja golnya ke gawang Inter Milan.

Di sisi kanan Roma menyediakan bek senior Maicon dan Torosidis. Bukan mau merendahkan Maicon, namun bagai Cinderela, Maicon hanya mampu sangat maksimal setengah babak saja. Lebih dari itu dia asam uratnya kambuh (sepertinya). Torosidis sang pelapis pun tidak terlalu wah. Kadang Florenzi dipaksa mengisi posisi ini jika keduanya sedang kumat.

Melihat situasi ini membuat saya bernostalgia ke awal 2000-an. Posisi bek sayap yang diisi duet Vincent Candela dan Marcos Cafu mungkin salah satu yang terbaik di dunia saat itu. Selain mereka saya juga akan sangat ingat dengan bek kontroversial Cristian Pannuci.

“Ibarat mobil saya dan Cristiano Ronaldo sudah berbeda mesin, tidak mungkin saya mengejarnya,” ujar Pannuci saat begitu frustasinya menjadi bulan-bulanan Ronaldo saat melawan MU.

Entah mungkin menjadi kebiasaan buat Roma pada tahun-tahun selanjutnya untuk membeli bek-bek sayap medioker. Yah, kalau tidak medioker pasti sudah memasuki usia om-om. Sebut saja Marco Casseti, Max Tonetto, Abel Xavier, Gabriel Heinze, atau John Arne Riise. Saat bergabung dengan skuad, mereka sudah berumur 30 tahun keatas. Terkesan hanya mengambil celah bek murah lumayan atau gratisan dari klub lain yang kebetulan habis kontrak saja. Mungkin ada pengecualian saat Walter Sabatini (Direktur Olahraga Roma) mendatangkan Jose Angel. Diantara morat-maritnya pertahanan Roma era Enrique, Jose Angel menjadi satu-satunya yang membuat saya merasa Roma masih memiliki bek bagus. Walaupun akhirnya dia dibuang oleh Zeman di musim selanjutnya.

Beberapa musim sebelumnya mungkin masih ada Cicinho bek sayap yang cukup memiliki nama dan tidak uzur. Tapi ya ternyata selain numpang cedera, performa  Cicinho tidak lebih baik dari Marco Casetti kala itu. (intermezzo) apa menurut kalian Marco Casetti mirip Gary Iskak?


Mungkin ada baiknya Garcia mulai memikirkan kembali posisi ini  setidaknya untuk musim depan. Saya rasa terlalu riskan untuk percaya kepada kumpulan paman yang menghuni posisi ini. Davide Santon atau Coentrao mungkin? Atau mencoba pemain akademi akan terlihat lebih menyenangkan dan murah.

Lebih menyenangkan bukan melihat promosinya pemain akademi di tim utama? Bayangkan saja, saat ini praktis hanya dua orang pemain utama yang merupakan produk asli akademi, yaitu Daniele De Rossi dan Francesco Totti. Mungkin bisa ditambah Alesandro Florenzi yang sedang mati-matian bersaing dengan Gervinho, Iturbe, Ljajic, dan sang kapten sendiri Totti.

Di posisi bek sayap sebenarnya beberapa kali Roma memunculkan nama-nama muda. Seperti Aleandro Rosi, Alessandro Crescenzi, Alessio Romagnoli, atau yang teranyar Michael Somma. Aleandro Rosi sempat menyodok posisi bek kanan Roma di awal tahun 2011. Gaya drible yang sangat terlihat meniru Cristiano Ronaldo, sempat menjanjikan sebuah opsi serangan. Stamina dan kekuatan drible dari Rosi ini cukup membahayakan pertahanan lawan Bahkan Rosi bisa menjadi seorang bek yang berfungsi cut inside yang menusuk langsung ke dalam kotak pinalti. Namun di tahun selanjutnya dia dipinjamkan ke klub lain dan digeser bek antah berantah Ivan Piris.

Alessandro Crescenzi lebih mengharukan. Setelah debut diusia 17 tahun pada musim 2009/2010 melawan Sampdoria, Crescenzi tidak pernah dipasang lagi dan selalu dipinjamkan. Total hingga musim ini beliau sudah dipinjamkan ke delapan klub. Sungguh pemain pinjaman sejati. Padahal menilik skill yang dimilikinya (jika mengintip dari game Football Manager dan PES),  Crescenzi merupakan bek serba guna. Dia mampu beroprasi di kanan atau di kiri lapangan. Fisiknya pun cukup kuat untuk seorang bek dan juga memiliki kecepatan yang lumayan. Entah, mungkin karena bau badan mungkin yang membuat dia susah diterima di ruang ganti tim utama hingga sekarang.

Lalu Alessio Romagnoli. Posisi aslinya adalah bek tengah. Namun sudah seperti hal lumrah, seorang bek debutan pasti tidak akan langsung dipercaya berdiri di depan gawang persis. Entah takut sang debutan gugup atau malah membuat kiper dibelakangnya was-was. Sempat dipasang sebagai bek kiri, ternyata Romagnoli cukup mengesankan mengawal sisi kiri. Tubuhnya yang cukup menjulang setinggi 188 cm bisa jadi kelebihan khusus. Mungkin hanya perlu waktu sedikit lagi untuk menunggu matangnya Romagnoli. Saat ini dia sudah menjadi salah satu pilihan utama di Sampdoria.


Kemudian yang baru saja naik kelas tahun ini. Michael Somma. Saya sempat berpikir kalau dia ini adalah penyerang sayap karena acap kali muncul namanya di papan skor saat laga pra musim. Mengejutkan memang untuk seorang anak bawang. Garcia seharusnya sudah memikirkan opsi Somma untuk menggeser posisi Maicon, atau setidaknya Torosidis. Namun sepertinya Torosidis selalu punya cara mengambil hati para pelatih untuk tetap meyakinkan dirinya tetap di tim utama (setidaknya cadangan utama lah). Padahal Torosidis ini ibarat caleg, tidak memberikan inovasi sama sekali. Cuma ya bisa saja jadi bek kanan.


Mungkin sudah saatnya Garcia mengintip para pemain muda. Kalau itu terlalu riskan, ya bukan waktunya tambal sulam pemain harga + skill pas-pasan.