Jumat, 25 September 2015

Chicken Wings Rudi Garcia

Rudi Garcia
Apakah menurut Anda ayam goreng itu enak? Jelas. Namun jika Anda makan ayam goreng saat sarapan, makan siang, makan malam setiap hari, apa Anda masih akan memandang ayam goreng itu enak? Bagi Rudi Garcia pasti tetap enak.

Saya sebagai pelanggan setia Roma Resto tentu selalu berharap menu yang menggugah. Rudi Garcia sebagai koki utama saat ini, gemar menyajikan hidangan ayam. Dia terkenal dengan kemahirannya memasak chicken wings. Beberapa kali beliau menyajikan aneka masakan dengan chicken wings sebagai bahan dasarnya. Beberapa diantaranya adalah chicken wings dengan perpaduan bumbu asal Pantai Gading, Argentina, dan Serbia. Namun James Pallota selaku bos besar kurang puas dengan chicken wings ala Garcia. Karena restoran nyonya tua sebelah yang jauh lebih berpengalaman mampu menjadi restoran nomer wahid, sedangkan chicken wings Garcia hanya mampu bertengger di posisi kedua.

Akhirnya investasi besar kembali dilakukan James Pallota. Walter Sabatini Direktur Bahan Pangan Roma Resto, dituntut bekerjasama dengan Rudi Garcia untuk menciptakan hidangan terbaik di kompetisi musim depan. Saya sangat berharap akan ada inovasi dan kreatifitas baru di menu Roma Resto.

6 bulan berlalu. Optimisme kembali dipanaskan dengan slogan "Hungry for Glory". Walter Sabatini berhasil memborong bahan baku yang mampu menjadi hidangan utama. Hingga akhirnya awal musim dimulai dengan beberapa janji racikan baru Garcia.

Entah kesalahan ada pada lidah saya atau hidangannya. Alih-alih menyediakan menu lain, semacam menu lokal seperti pizza atau spageti, Garcia lagi-lagi menyediakan chicken wings. Ya, chicken wings kali ini tanpa bumbu asal Serbia, tapi dengan tambahan minyak zaitun ala mesir dan tortilla kentang ala spanyol. Hasilnya? Saya mual.
Saya sempat iri dengan teman saya yang menceritakan enaknya menu baru restoran di kotanya. Makanan khas Montenegro selalu padu dengan appetizer bruschetta yang dimasak ala Argentina. Tidak heran memang, karena kokinya pun memang berpengalaman, karena sempat menjuarai master chef di italia dan inggris beberapa tahun lalu. Pantas disana sekarang ramai pengunjung.

“Saya mengerti dengan adanya pandangan negatif tentang chicken wings yang saya buat. Namun kekhawatiran akan inovasi racikan saya tidak beralasan, karena kadang saya pun memasak sup sayap ayam atau nasi goreng dengan ayam goreng bagian sayap,” tutur Garcia yang dikutip oleh romaresto.com.


Saya membanting handphone saya.

Minggu, 20 September 2015

Déjà vu Edin Dzeko

Edin Dzeko
Datangnya bomber asal bosnia ini memang melengkapi skuad Roma musim ini. Namun entah memang sengaja atau memang cara pandang saya dalam memahami skuad Roma berbeda dengan Rudi Garcia dan Sabatini? Hadirnya Dzeko hanya menambal sulam kepergian Destro, Doumbia, dan Borrielo. Betul sekali jika kualitas ketiga penyerang sebelumnya masih di bawah Dzeko, tapi jika Dzeko dianalogikan seperti  Bams Samsons yang terus – terusan dipaksa menyanyi dengan tenaga dan nada yang tinggi akhirnya di satu titik, pita suaranya pun cedera. Sekarang apa ada yang pernah mendengar Bams di tv lagi? Begitu juga Dzeko. Terlalu riskan menaruh beban gol disetiap pertandingan di satu orang saja.

Masih dini memang untuk mengkritisi kebijakan Rudi Garcia saat musim baru berjalan dua pertandingan saja. Tapi saya yakin tidak sedikit romanisti yang khawatir performa Roma hanya akan menjadi ejakulasi dini. Mau sampai kapan kita romanisti hanya akan bersorak sorai untuk posisi runner up?

Kekhawatiran saya berujung dengan membuka website asroma.it, melihat apa ada koleksi seorang Central Forward selain Dzeko. Ternyata nihil. Beralih ke situs transfermarkt.com lah saya menemukan satu orang rekrutan baru, Ezequel Ponce. Siapa Ponce? Remaja 18 tahun asal Argentina ini sepertinya hanya akan berakhir di Roma Primavera.

Francesco Totti akhirnya lah yang menjadi jawaban sementara. Mungkin di umurnya yang nyaris 40 tahun ini sudah beberapa kali fase yang dialaminya. Dari kebanggaan sebagai pemuda asli Roma yang menembus tim utama, kebahagiaan menjadi kapten kesebelasan, sampai tanggung jawab sebagai tumpuan utama disetiap musim. Sekarang jika di Trigoria ada orang yang berkata “Totti, kamu adalah tumpuan utama tim musim ini,” tentu raut mukanya akan berbeda dengan Totti sekitar 15 tahun lalu. “Gue lagi, gue lagi,” gerutunya sambil memegangi punggungnya yang mulai sering masuk angin.

Dzeko dan Pjanic
Namun musim ini Totti boleh duduk di bench dengan lebih tenang. Beban besarnya sudah mulai diringankan dengan hadirnya duo Bosnia, Pjanic dan Dzeko. Bayangkan saja tugas menjadi sumber kreatifitas, pemimpin, dan mesin gol seperti sudah biasa dialami Totti. Saya yakin, saat Anda diberi job desk rangkap dua saja pasti sudah misuh misuh minta resign dan cari tempat kerja lain. Sekarang Totti cukup fokus menjadi leader bagi timnya, baik di dalam atau luar lapangan.


Memang hanya di sektor penyerang sayap saja stok pemain bisa sangat dalam dan merata. Sektor bek sayap kiri, playmaker, dan penyerang lah yang riskan kedodoran jika salah satu ada yang cedera. Namun jika melihat formula yang terjadi saat bursa transfer musim ini mirip-mirip dengan 15 tahun lalu. Saat Roma yang kekurangan tenaga dalam mendobrak untuk merebut scudeto, datanglah Batistuta yang menjadi mesin gol. Apa déjà vu Batistuta dan Dzeko memiliki ending yang sama?