Sabtu, 08 Februari 2014

Kebencian Abadi di Kota Abadi

Persaingan ketat, rivalitas dan mempunyai musuh bebuyutan adalah hal biasa yang terjadi di dunia sepakbola. Misalkan di La Liga Spanyol. Persaingan antara Real Madrid dan Barcelona yang sangat panas hampir disetiap musimnya. Selalu terjadi duel sengit antara duo raksasa Spanyol ini. Bisa dilihat dari antusiasme pemain sebelum pertandingan hingga suporter yang bisa berbondong-bondong datang ke stadion. Tidak jarang pertandingan berakhir ricuh. Duel yang disebut juga El Classico ini bahkan terasa panasnya hingga seluruh penjuru dunia. Tidak heran rating and share dari pertandingan ini di TV sangat tinggi. Lalu di Inggris ada persaingan antara Manchester United dan Liverpool yang juga sudah melegenda. Persaingan saling sikut memperebutkan gelar juara atau sekedar gengsi masih akan selalu panas hingga saat ini.

Namun salah satu rivalitas terpanas dan mempunyai tensi paling tinggi justru berada di ibu kota Italia, Roma. Terdapat dua klub raksasa ibu kota yang sudah berpuluh-puluh tahun bersaing bahkan sangat kental aroma permusuhan, yaitu AS Roma dan Lazio. Terdengar sangat subjektif melihat saya adalah fans dari AS Roma, namun saya mencoba objektif untuk menyebut rivalitas kedua klub adalah rivalitas yang menggumkan. Banyak pertandingan derby atau persaingan klub besar yang sering saya saksikan, tapi tidak pernah sepanas pertandingan dan persaingan antara AS Roma dan Lazio yang juga disebut Derby della Capitale  atau derby ibu kota. Memang El Classico mempunyai "penggemar" yang besar dan persaingan yang ketat, tapi persaingan belum mampu menandingi kehebatan Derby della Capitale. Derby lainnya di Italia pun juga tidak ada yang semegah Derby della Capitale. Misalnya Derby della Madonina, Derby d'italia, atau Derby della Mole yang terasa masih lebih "bersahabat".

Anda tentu boleh mempunyai pendapat lain, tapi coba perhatikan beberapa hal yang akan saya coba ceritakan. Pertama latar belakang dari rivalitas ini tidak hanya soal sepakbola. Banyak unsur-unsur politik juga yang sering sengaja disampaikan dari pendukung-pendukung kedua klub. Para suporter di Kota Roma seakan memang memperlihatkan bahwa pertandingan derbi ibu kota ini tidak hanya sekekdar permainan. Klub AS Roma didirikan hasil penggabungan dari tiga tim. Roman, Alba-Audace dan Fortitudo, yang merupakan instruksi dari rezim fasis yang berkuasa dan diprakarsai oleh Italo Foschi. Pada masa itu Benito Mussolini memang sengaja menginginkan sebuah klub asal Roma yang kuat untuk menantang dominasi klub dari utara yang sangat perkasa seperti Juventus, AC Milan, Internazionale dan Torino. Namun ada satu klub yang menolak merger tersebut, tidak lain adalah Lazio. Hal ini juga merupakan pengaruh salah satu jendral fasis, Giorgio Varccaro. Dari sini dimulai persaingan antara kedua klub. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa AS Roma mewakili kaum buruh, karena mempunyai basis penggemar yang banyak di berbagai penjuru kota, sedangkan Lazio adalah representasi dari kaum borjuis, pendatang yang ingin menguasai Roma. Asumsi ini dibalas Lazio dengan menyebutkan bahwa mereka lebih dulu terbentuk dari AS Roma, maka Lazio lah yang berhak menguasai kota. Lazio didirikan tahun 1900 dan AS Roma baru didirikan 27 tahun setelahnya.  "Italia bukan lah negara bersatu seperti Amerika Serikat. Orang di sini lebih menganggap diri mereka sebagai Roman, atau Tuscan atau Sisilia dibanding Italia." jelas Franco Spicciarello penulis olahraga ternama di Kota Roma.


Sebenarnya pendukung kedua klub mempunyai kesamaan, yaitu membenci arogansi klub dari utara. Namun fakta bahwa AS Roma dan Lazio tetap tidak banyak meraih gelar dibandingkan klub raksasa utara menyempitkan pandangan kedua pendukung. Roministi dan Laziale semakin berpikir bahwa mereka setidaknya bisa menguasai Kota Roma yang malah meruncingkan persaingan kedua klub.  Rivalitas semakin terbentuk sampai menimbulkan kebencian yang melebih rasa cinta terhadap klubnya sendiri. Bisa dilihat ketika persaingan antara AS Roma dan Internazionale sedang sangat ketatnya dalam perebutan gelar juara, Laziale berulah dengan mencoba mengancam pemainnya sendiri saat pertandingan antara lazio dan Inter digelar. Spanduk seperti "Biarkan bolanya masuk Muslera (Penjaga gawang Lazio saat itu), maka kau akan tetap kami cintai!" lalu ada juga "Jangan kamu berani mencetak gol, Zarate! Atau akan kami paketkan ke Buenos Aires!" Jose Mourinho yang melatih Inter saat itu pun heran. "Tidak pernah saya melihat hal seperti ini," katanya. Hal seperti ini bahkan tak hanya sekali dilakukan oleh pendukung Lazio. Lalu juga beberapa kali Laziale bertindak rasis kepada pemain Roma yang kebetulan banyak diperkuat pemain Brazi berkulit hitam. Dari kubu romanisti juga beberapa kali melakukan ejekan yang sarkas kepada pemain Lazio, bahkan juga mantan pemain Lazio. Korbannya adalah Paulo Negro. Saat Roma berhasil merebut Scudetto pada tahun 2001, Roma hanya memimpin tipis diatas Juventus. Tentu hasil pertandingan derbi ibu kota saat itu sangat berpengaruh untuk kejayaan Roma saat itu. Kebetulan kemenangan 1-0 terjadi berkat gol bunuh diri bek Lazio, Paulo Negro. Nasib buruk bagi Negro saat sudah pindah membela Siena, Romanisti melakukan standing applause tepat saat Negro memasuki lapangan di pertandingan Roma melawan Siena. Sebuah ejekan yang akan selalu menjadi beban seumur hidup mungkin.

Para icon dari kedua klub juga banyak memberikan cerita seru saat Derby della Capitale berlangsung. Misalkan head to head antara Pangeran Roma, Francesco Totti dan kapten Lazio saat itu, Alessandro Nesta. Kedua pemain sempat beradu skill, dimana kepiawaian Nesta menjaga daerah pertahanan diimbangi dengan visi dan kemampuan Totti mengatur serangan, bahkan sempat terjadi tensi tinggi antara kedua pemain yang sama-sama memperkuat tim nasional Italia itu. Kemudian ada aksi pemboikotan pertandingan di Tahun 2003. Saat itu tiga pimpinan suporter turun ke lapangan untuk berbicara langsung kepada Totti. Terdengar oleh pemirsa di televisi kalau suporter akan membunuh para pemain jika pertandingan tidak dihentikan, alasannya ada anak kecil terbunuh di luar stadion akibat ulah polisi. Mendengar itu Totti berdiskusi dengan wasit dan pengurus pertandingan, yang berakhir dengan keputusan pertandingan harus ditunda. Ternyata setelah diusut berita anak kecil yang terbunuh hanya hoax dan akal-akalan beberapa suporter Roma untuk membalas perlakuan Polisi yang dianggap sewenang-wenang. Pernah juga disela pertandingan kedua suporter saling melempar mercon dan kembang api sampai memaksa pertandingan dihentikan sementara.  Kedua kapten tim saat itu, Paolo Di Canio dan Francesco Totti pun sampai harus berdamai sementara untuk menghampiri tribun suporter guna mengendalikan keadaan.


Banyak drama yang terjadi disetiap pertemuan Roma dan Lazio. Kali ini Roma datang dengan membawa tren bagus dibanding Lazio. Berada di posisi kedua dengan hanya sekali kalah dari pemimpin klasemen, Juventus, Roma mencoba memberikan permainan menyerang ala Rudi Garcia. Lazio juga kali ini sedang menanjak performanya setelah berpindah pelatih dari Vlad Petkovic ke Edy Reja. Drama apa yang akan tercipta di Derby della Capitale kali ini? Saya pasti akan selalu berharap Roma yang berjaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar