Minggu, 05 Juni 2016

Proletariat yang Terus Berhasrat





“Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,”

Menjadi proletariat di kaum urban memang akan selalu tidak mudah. Mau tidak mau uang menjadi tujuan utama untuk bertahan hidup di tengah hegemoni masyarakat. Entah demi status sosial atau anak istri, setiap bulan harus tercukupi. Bekerja sepanjang hari hingga lembur demi insentif sampai lupa wajah matahari pagi.






“Hari-hari berulang,
diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.”
Rasa aman akan penghasilan ternyata harus dibayar dengan kenyamanan. Rutinitas, cicilan, tagihan awal bulan, himpitan hutang harus ditambah dengan sampingan. Lupakan cita-cita dan impian. Ganti dengan iming-iming penghasilan dan jabatan.




“Tujuh tahun yang lalu,
impian membawaku
Kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku kembang-kempis”
Rokok ketengan dan kopi abang-abang jadi pelarian. Penenang yang lebih dicari dibanding nasi, sayur, dan ikan teri.
Aku rasa waktuku lebih berharga dari pada sekedar simpan tenaga. Lupakan rehat yang penting dompetku sehat. Semua demi hasrat.




“Tujuh tahun berlalu,
impianku tersapu”
Tanpa terasa waktu terus berputar. Keabadian yang mebuatku gentar. Wahai proletar, mau sampai kapan?


Peringatan!
Tuhan pun sudah bersyair di ujung malam yang lingsir. Mengapa bertahan dikehidupan yang satir? Padahal satu-satunya kepastian itu adalah ketidakpastian yang mondar-mandir.


“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”
Tak sadar hasrat membuatku sesat. Uang membawaku hilang, hingga lupa rasa pulang. Terjebak di petualangan yang membuat aku tidak tahu kapan berhenti. Tanpa sadar aku sudah mati walau jasad tetap berlari. Apa itu identitas diri?
Demi Tuhan, atau demi setan. Sumpah, aku ingin rumah untuk pulang.





Lagu rantau yang menyadarkan. Dari dosa, kota dan kenangan.
Karena aku tersilampukaukan.






Teks: Safa Prasodjo

Foto: Fransiska Amelia

Senin, 04 April 2016

Saat Surabaya Dipindah ke Jakarta

Karis dan Eki di panggung Teater Kecil TIM

Hampir empat bulan lagu Puan Kelana mondar - mandir di playlist hp saya. Ajaibnya saya tidak pernah tau kalau lagu yang mempunyai lirik dengan rima kurang ajar ini adalah milik Silampukau. Duo asal Surabaya dengan genre folk.

Kau putar sekali lagi Champs-Elysees.
Lidah kita bertaut a la Francais.
Langit sungguh jingga itu sore,
dan kau masih milikku.
Silakan perhatikan kutipan bait pertama lagu Puan Kelana. Pernah sesakit hati apa kah orang yang membuat lirik macam itu?
Sampai akhirnya saya memutuskan untuk jatuh cinta dengan ngganteng-nya suara Mas Eki dan Karis saat mereka muncul di Teater Kecil TIM. Silampukau dan kawan - kawan saya rasa berhasil memindahkan Surabaya ke Cikini seketika. Imajinasi Surabaya dibenak saya disulap menjadi lebih romantis dari Paris. Gigs yang dirasakan juga sangat intim, membuat Kalya teman yang secara tidak sengaja menjadi teman kencan tiba-tiba itu nyengir - nyengir sambil bergumam "Mas Karis ganteng...". Saya pun dalam hati mengamini, "Mas Eki juga ganteng.." ok salah. 
Kesimpulan yang bisa saya rasakan adalah Silampukau merupakan musisi folk termewah yang pernah saya tonton live. Lirik kampret, yang entah darimana kepikiran menyandingkan kata bir, kafir, dan matrimoni dalam satu bait. Mungkin jenius atau perlu mabuk potas? Saya rasa keduanya.

"Let me put it this way, Silampukau boys are sharp and spot on because of one reason. They have harnessed the most powerful part of folk music: Narrative. When I listen to Dosa, Kota dan Kenangan, I hear vulnerability. I hear honest memories. I hear cities’ cruelty. I hear myself. This vulnerable narrative travels so far beyond the music, it reaches strange places in your head, plays with your mind. Trust me, you don’t want to talk about anything technical when you can find witty phrases like “entah merlot entah Cap Orang Tua” put stylishly with grace and virtue in a song." Teguh Wicaksono
Sang Puan Kelana harus terpukau dengan karya Silampukau. Lagu Doa yang terlalu sering diamini penontonnya sampai akhirnya cerita Dosa, Kota, dan Kenangan benar sampai di Jakarta. Tentu tidak perlu menunggu sampai tua untuk akhirnya masuk televisi. hehehe..




Kalya, Pandji, Saya
Sebenarnya yang paling anjing adalah makhluk sialan namun beruntung menjadi keyboardist malam itu, Pandji Putranda. Saya pikir saya akan nonton bareng dengan si kampret ini, tapi ternyata tak siangka, tak dinyana dia ada di atas panggung. well.....

Selamat buat Silampukau yang penampilannya jauh diatas sukses, jancuk! Sofia, kamu pasti menyesal. Tapi terimakasih sudah diyakinkan untuk datang. pfftt..... Kalya, entah apa jadinya saya tanpa Puan. Maafkan aku Jawir, wanitamu kupinjam beberapa jam.