“Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,”
kota kelewat kejam,”
Menjadi proletariat di kaum urban memang akan selalu tidak mudah.
Mau tidak mau uang menjadi tujuan utama untuk bertahan hidup di tengah hegemoni
masyarakat. Entah demi status sosial atau anak istri, setiap bulan harus
tercukupi. Bekerja sepanjang hari hingga lembur demi insentif sampai lupa wajah
matahari pagi.
“Hari-hari berulang,
diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.”
diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.”
Rasa aman akan penghasilan ternyata harus dibayar dengan
kenyamanan. Rutinitas, cicilan, tagihan awal bulan, himpitan hutang harus
ditambah dengan sampingan. Lupakan cita-cita dan impian. Ganti dengan
iming-iming penghasilan dan jabatan.
“Tujuh tahun yang lalu,
impian membawaku
impian membawaku
Kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku
kembang-kempis”
Rokok ketengan dan kopi abang-abang jadi
pelarian. Penenang yang lebih dicari dibanding nasi, sayur, dan ikan teri.
Aku rasa waktuku lebih berharga dari pada
sekedar simpan tenaga. Lupakan rehat yang penting dompetku sehat. Semua demi
hasrat.
“Tujuh tahun berlalu,
impianku tersapu”
impianku tersapu”
Tanpa terasa waktu terus berputar. Keabadian yang mebuatku gentar.
Wahai proletar, mau sampai kapan?
Peringatan!
Tuhan
pun sudah bersyair di ujung malam yang lingsir. Mengapa bertahan dikehidupan
yang satir? Padahal satu-satunya kepastian itu adalah ketidakpastian yang
mondar-mandir.
“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”
Tak sadar hasrat membuatku sesat. Uang membawaku hilang, hingga
lupa rasa pulang. Terjebak di petualangan yang membuat aku tidak tahu kapan
berhenti. Tanpa sadar aku sudah mati walau jasad tetap berlari. Apa itu
identitas diri?
Demi Tuhan, atau demi setan. Sumpah, aku ingin rumah untuk pulang.
Lagu rantau yang menyadarkan. Dari dosa, kota
dan kenangan.
Karena aku tersilampukaukan.
Teks: Safa Prasodjo
Foto: Fransiska Amelia
Teks: Safa Prasodjo
Foto: Fransiska Amelia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar